Jalan Tak
Bertangan
Oleh SUYATNO, S.Pd
Goresan pena masih tertulis
jelas di buku agenda harianku. Hari itu Senin, 7 November 2016. Musim hujan
sudah berjalan tiga minggu yang lalu. Saat kubuka buku agenda itu seolah berkelakar
jelas mencipta malu. Juga masih begitu jelas dalam ingatanku, akan peristiwa
dua hari yang lalu, aku tidak bisa sampai ke tujuan untuk mencurahkan ilmu nun ke rumah sekolah tempatku mengabdi
yang begitu jauh dikarenakan musim hujan dan jalan setapak sangat sulit untuk
dilalui. Aku pun teringat masa lalu, sejarah terasa terulang kembali hampir
sama seperti hari pertama aku diterima mengajar/mengabdi di rumah sekolah
itu pada musim hujan setahun yang lalu.
Pagi itu kupacu sepeda motor tua
merek Honda yang saya juluki si Belalang Tempur. Armada setia yang selalu
mengantarkanku ke rumah sekolah tempat aku mengabdikan diri untuk generasi emas bangsa ini. Mulai start dari rumah jalan begitu bagus, berpanggungkan
jalan Poros menuju ke rumah sekolah yang berbeton keras kira-kira sepanjang 5 km. Bersyukur tahun ini ditambah 1,5 km hasil garapan
proyek kecil Pemko tahun ini dengan dana milyaran rupiah yang aku pun tidak
bisa membacakan angkanya pada
sebuah spanduk untuk sebuah proyek kecil pembetonan jalan yang
panjang itu. Barangkali itu sebagai proyek tahunan yang berkesinambungan walau
tidak setiap tahunnya bersambung, proyek pembetonan jalan itu baru saja
selesai, sudah keras dan sudah bisa dilalui. Ya, jalan yang cukup bagus untuk dilalui sepeda
motor dan kendaraan lainnya.
Di pinggiran jalan terhiaskan ilalang menjulang garang,
menindih rumput bebayaman, dan rerumputan yang aku tak tahu apa namanya serta
kebun sawit yang begitu luas terhampar menghijau sepanjang jalan menuju ke
rumah sekolah itu. Semua masih seperti musim panas yang telah sirna 3 minggu
yang lalu. Bersama kerasnya jalanan terlewati bersama liukan indah si Belalang Tempurku,
zig-zag penuh irama, berputar dua roda dengan langkah senada. Kami lewati
dengan indah sembari membayangkan angka rupiah kecil yang dianggarkan untuk proyek
pembetonan jalan tadi. “Andai angka kecil itu berupa pecahan rupiah, barangkali
pecahan itu dapat ditimbunkan ke jalan menuju rumah sekolahku bahkan sepanjang
50km dapat ditimbun dan jalan tidak benyek
seperti sekarang di musim hujan ini”. Teringat celotehan awam di warung kopi
malam tadi.
Tak begitu jauh dari penghujung proyek kecil pembetonan
jalan yang baru saja selesai itu, masih setia bersamaku si Belalang yang terus
melaju. Kali ini, berpanggungkan jalan tanah, berpasir,berbatu yang mulai rusak
dan kini kelihatan becek dan berlumpur serta ada beberapa titik yang rusak
parah dan sulit untuk dilalui.
“Balik kanan saja, yuk, Boss!”, si Belalang menggumam. Si
Belalang mungkin mulai patah semangat karena terlihat olehnya beberapa badak besi (mobil sawit) sedang memundak
buah sawit yang begitu terlihat sangat meratapi kejamnya hidup di jalanan yang
rusak parah di depan. Dua badak besi tampak bergandengan menarik satu badak
besi yang sedang terpuruk, terbenam dalam lumpur. kedua badak besi itu bagai pahlawan
yang ingin dianugerahi bintang jasa di pundaknya di tanggal 10 November, enam
hari ke depan. Sepertinya mereka bersaudara dan sedang lintang pukang
melakonkan adegan standing dan terbang,
menerjang melawan ganasnya kebijakan jalan. Dua dari empat rodanya terperosok
di lubang dalam jalanan yang benyek berlumur
lumpur dan bersimbah peluh para sopir mengalir bersama rerintik hujan yang
belum juga reda. Sementara, beberapa badak besi lainnya, berbaris rapi di
belakang seperti sedang antre menunggu giliran. Mobil-mobil yang antre itu kelihatannya
penuh gejolak dalam bingung, letih, bisu, tak berteriak, tak bergerak seolah
berlinang menahan duka mendengar raungan tersengal-sengal dua mobil yang
terpuruk yang berlakon seolah sedang berdemonstrasi, berteriak lantang,
menuntut kebijakan jalan kepada empunya kebijakan dengan harapan jalan ditimbun
dengan rupiah pecahan recehan.
“Hoooppp. Tahaaan...!!! Mundur ke belakang sedikit”,
aba-aba kenek sopir badak besi yang begitu familiar
terdengar olehku di musim ini. Sembari bergumam, “Mundur pastilah ke
belakang, Mas”, kembali teringat materi pelajaran yang saya ajarkan di kelas IX
pertemuan minggu lalu tentang kalimat efektif.
Langkah harus tetap berlanjut bersama si Belalang yang kini
sedikit lesu. Barangkali, karena baru saja dengan mata telanjangnya, melihat
seulas kisah badak besi dan rekannya terpenjara dalam kubangan lumpur jalanan
yang rusak parah itu. Tak ingin lesap bersama lunturnya waktu dan lemahnya
langkah sambil menggerutu aku pun bergegas turun ke jalan yang rusak parah penuh
lumpur itu untuk melihat celah jalan di antara badak-badak besi yang menangis dan
terpuruk menggendong beratnya buah sawit. Namun, ternyata tidak ada celah jalan sejengkal pun untuk bisa dilewati sepeda motor.
“Shitman!”, tutur
kasarku pelan. “Tenang Boss tidak satu jalan menuju ke rumah sekolah, Desa Bulu
Hala, Geniot, tah apalah itu”, seakan si Belalang bicara menyemangatiku.
“Ok Belalang, serius,,,kita terbang, jalan berlumpur
seperti ini mah kacang, ini kerak-keraknya
baru”, lagak dalam hati. Si Belalang pun kuputar balik arah sekitar 50 meter dan
jalan tak pantas dilalui pun kami anggap pantas. Menerobos jalan tanah gambut jalan
pintasnya para pengabdi hari ini yang sungguh ingin sampai ke rumah sekolah
tujuan karena jalan ini satu-satunya jalan poros. Jalan tak bertangan dan tak
ada jalan pintas. Inilah
jalan pintas yang kami anggap pantas. Mungkin sekitar 100 meter
kami coba menerobos lahan gambut yang dalamnya setengah lingkar roda sepeda
motor itu.Terperosok, letih, peluh, luluh, lantak, itu pasti.Tetap kuat, kita
bisa, sudah biasa walau sulit dan hari ini sedikit payah. Hanya butuh waktu 15 menit
melewati jarak sepanjang 100 meter itu. Sungguh waktu yang singkat tapi rasanya
begitu lama.
Tembus dan putus sudah lahan gambut sepanjang 100 meter
penuh hiruk pikuk dan sedu sedanku bersama kawan-kawan 3 orang guru perempuan.
Kami pun konvoi meraih meter demi meter menelusuri jauhnya jarak perjalanan yang biasa dan setiap hari kami
lalui. Karena setiap hari kami lalui itulah jarak jauh itu terasa bagi kami
dekat. Karena biasa jadi terasa dekat. Menurut kami kami itu dekat. 30 Km itu
dekat. Iya dekat. Mungkin menurut orang lain yang melihat kami setiap hari
berangkat ke rumah sekolah berkubang lumpur, menganggap kami gila, kok mau ngajar/ngabdi
jauh di sana. Mungkin begitulah kira-kira anggapan mereka.
Kami sampai di Pangkalan Desa Bulu Hala tepatnya pukul
07.45 WIB, Pangkalan inilah tempat ditumpuknya buah sawit pada musim penghujan
seperti sekarang ini dan pangkalan ini juga sebagai stasiunnya badak besi
penggendong buah sawit itu. Di sinilah ditetapkan sebagai titik nol penghujung
jalan tasertu (tanah pasir berbatu)
yang ditimbunkan sekitar 5 tahun yang lalu yang sekarang mulai hancur, becek, dan
berlumpur. Dipisahkan oleh sebuah sungai bernama Sungai Pemutus dijembatani
susunan papan, bertiangkan kayu bulat, berkapasitas 2 ton.
Heran, setiap kami sampai di penghujung jalan itu selalu
saja bersamaan dan bertatapan dengan seorang lelaki paruh baya yang selalu duduk
dengan kudapan paginya di warung sarapan sebelah kanan sisi jalan seberang
jembatan. Selalu menyapa dengan senyum sambil menyeruput kopi susu dan tertunduk
malu melihat langkah goyah Belalang tempur kami dan kaki-kaki kami yang selalu
berlumur lumpur. Bedanya hari ini, bersamaan
pula dengan sebuah mobil badak besi yang berani melintas melanggar rambu-rambu jalan
yang biasa kami sebut Jalan Sawah yang digotong-royongi warga sehari yang lalu.
Dengan sombong mobil badak besi itu melentingkan lumpur dari keempat rodanya.
Suara Belalang kami yang mulai parau dikalahkan oleh derunya mesin si badak
besi tua itu. Harapan kami pun mulai sedikit sirna. Kami berempat bersama tiga
Belalang dan beberapa para pemulia bumi (petani) yang siap balik kanan
memberikan salam tanpa penghormatan kepada jalan sawah itu. Dan kami hanya diam
dan hanya bisa berpatung memutar leher menatap belakang mobil badak besi
pelanggar rambu-rambu tadi yang semakin menjauh.
Saat begini, insting pasti mengalahkan raga. Mataku
memerah. Jantung berdetak kencang bagai bom C5 tertanam dalam tubuhku dan siap
meledak. Kulihat tiga rekanku satu visi dan misi yang sama. Tiga guru perempuan
pengabdi, bekerja ikhlas untuk generasi pertiwi. Aku kedinginan dan mereka
pasti juga kedinginan karena rintik hujan yang juga belum reda. Kusapu
bibirku dengan peluh di lenganku. Aku berkaca kaca spion Belalang untuk
memastikan kalau bibirku tidak pudar membiru. Kututup kaca helm pinkku. Linangan air mata bercampur
garam peluh pun mulai menetes jatuh menghempas kardus soal di kelangkangan si Belalang. Kucoba mengenyahkan malu
untuk melawan kodratku sebagai lelaki sejati. Tetap tak terbendung, pecah semua
bersama alunan rintik hujan yang sedikit mereda. Kulihat ke atas dan sekitar
hamparan khatulistiwa, yang ada hanya mendung putih, dan matahari yang memancarkan
cahayanya dengan malu-malu.
“Pak, tunggu!”, satu guru perempuan memanggilku. Cepat
kubuka helm dan kusumbat mati linangan mata dengan kaos hitamku. Sepertinya
mereka ingin berdiskusi mambahas topik melangkah maju atau melangkah mundur.
Melawan jalanan berlumpur seperti sawah yang telah dibajak namun tak ditanami.
“Nah, gimana, lanjut?”, tanyaku. Sambil ku gas-gas si
Belalang seakan memberi sandi bahwa aku masih mampu, kuat, dan tangguh. “Gini
Pak, aku bapak bonceng, dan ibu guru berdua lagi sendiri-sendiri menunggangi Belalangnya,
biar ringan!”, salah satu dari mereka menyeru memberi saran. “Boleh...kita coba
saja, Ibu berdua duluan!”, saranku. Kuteguk buas air putih dari botol, bagaikan
pemabuk sedang haus candu. “OK, kita move
on, pelan-pelan. Pegangan dan jangan lihat jalan berumpur di depan nanti
kita jatuh!” panduku. Dengan sigap, ia menjawab “Sip, Sir”.
Barangkali tak sampai tertempuh 70 meter jalan berlumpur
itu. Belalang yang ditunggangi dua guru perempuan itu di depan kami menderu-deru,
berteriak, memekik, dan mengeluarkan asap pekat dan bau tak sedap dari
duburnya. Bagai orang tercirit-cirit memundak beban seberat 200 kg. Roda hanya
mampu berputar, di jalan berlumpur sedalam setengah lingkar. Ku cagakkan si
Belalang dan bergegas mendorongnya. Tak peduli muntahan lumpur dari percikan
roda itu. Tak peduli baunya sengau, rasanya payau. Walau ada sedikit yang
tercicipi ujung lidah sambil menyaksikan peluh mulai menggelitik tubuh tetapi aku
ingin mereka tidak tahu.
Akhirnya dengan keputusan malu-malu. “Jalan sawah ini sulit
di lalui dengan Belalang hari ini tetapi Belalang saya bisa kalau saya
tunggangi sendiri”, kataku. “Jadi gimana,
Pak?”, tanya seorang guru perempuan. Aku pun bingung seperti orang waras yang tiba-tiba kehilagan akal
untuk menjawab dengan jawaban yang tepat.
“Jalan kaki saja,
semangat! Jalan terlalu parah untuk dilalui dengan Belalang”, jawabku.
“Kami pulang saja ya, Pak?”, tanya mereka serempak.
Detik jam di lenganku yang sepintas terlihat olehku seakan
ikut berhenti terdiam sejenak. “Pulang. Apakah ibu-ibu rela akan hilangnya
perjuangan yang telah kita lalui sebelumnya tadi?” timpalku menguatkan.
“Ya lah...tanggung, saya berjalan pelan-pelanlah”, jawab
seorang ibu guru semangat.
“Maaf, kalau begitu saya juga pelan-pelan ya duluan”, aku pun pamit.
Kutancapkan anak kunci si Belalang tepat pada fungsinya.
Kupakai helm tepat pada peraduannya. Akupun melaju dengan kecepatan penuh
10km/jam sambil terseok ke kanan dan ke kiri, menari, mencumbui jalan seperti
sawah yang lembap, berair, licin, berlumpur, dan penuh perih. Terkadang arah haluan
si Belalang pun sampai berputar berlawanan arah, seperti telah bosan, penat dan
hendak berbalik melangkah pulang karena begitu hancurnya jalan itu.
Jarum jam pun sudah mendekati angka 9. Sedikit kutingkatkan
kecepatan menjadi 15km/jam. Percuma, penat, pedih, perih, tak pantas kutanyakan
tentang jalan ini, tentang negeri ini. Tanyakan saja tentang dirimu sendiri untuk siapa
dirimu kau berikan? Perjuangan apa kau berikan? Mungkin saat ini negerimu belum sanggup
memberimu apa-apa.
Kini aku sampai dan berada di atas jembatan Gamang. Jembatan
sepanjang 40 meter yang menjembatani sungai Bulu Hala. Sungai pasang surut, dan
pagi ini air pasang pun melimpah ke jalanan bagaikan lautan. Di seberang jembatan
ini, aku pelan-pelan dan ekstra hati-hati karena ada lautan sepanjang 20 meter yang
harus kurenangi bersama si Belalang. Tak pernah tahu tiba-tiba si Belalang
hilang keseimbangan, ada lubang tak terlihat, dan mesinnya mati mendadak tetapi
kami ingin tidak ada seseorang pun yang tahu.
Kami tetap bangkit. Kami malu dengan rumah sekolah yang
menunggu. Kami malu dengan anak-anak peserta didik yang haus dan lapar akan
ilmu. Kami malu dengan generasi yang berjalan jauh, tangguh, dan penuh semangat menuju
rumah sekolah itu. Lautan sepanjang 20 meter pun tak sadar terlewati. Tak
begitu jauh dari situ, aku terjatuh lagi. Kali ini ke dalam kubangan lumpur yang
pekat bagaikan adonan kue donat yang kurang air. Terlalu lekat, pekat, padat
namun memikat.
Di jalanan ini, Kami terjatuh. Kami berlumpur. Kami basah. Kami
marah. Kami merintih. Kami pedih. Kami sakit. Kami menangis. Kami kepanasan.
Kami kedinginan. Kami meringis. Jika ada kata di atas kata itu, berikan pada
kami. Itulah kami, yang masih di sini untuk negeri ini. Kami cengar-cengir bagai kerbau di sawah,
seperti indahnya lirik yang kau dendangkan dengan senandung setan. Kami tahu
kalian itu ada. Tak kutahu di mana rimba mereka. Jika kau larut meringis luka,
mana pedihnya? Kami tak meminta banyak untuk diri kami, kami hanya meminta agar
jalan penuh lumpur ini memiliki tangan-tangan yang peduli agar segera
diperbaiki dan kami pun senang dalam mengabdikan diri untuk negeri ini.
Semua jalanan sawah sudah terlewati. Akhirnya, aku pun
sampai. Kami sampai. Kami sampai pukul 09.20 dan rekan-rekan di belakang tadi
sampai pukul 10.00. Seperti biasa, sudah biasa, tiada lelah, tiada resah, dan
tiada kata menyerah, apalagi punah. Sedikit kata, aktivitas berjalan seperti
biasa mengikut tatanan yang ada bukti kami menghormati kebijakan mereka. Ada
kata yang mendarah daging bagi kami “Kadang ragu tuk berangkat tapi kalau sudah
sampai ke rumah sekolah, kami juga tak ingin tuk melangkah pulang”. Begitulah adanya,
sampai ke rumah sekolah ini kami bagaikan sampai di taman surga yang penuh suka
cita, mimpi dan asa. Inilah kebahagiaan kami yang tiada tara. Dan rumah sekolah surge itu adalah
SMP Negeri 19 Kota Dumai tepatnya beralamat Jln. Sepakat-Desa Geniot-Bandung
(Bagian Dumai Ujung).